Menapak Jejak Hijrah, Menata Arah Hidup Kita
Tahun Baru Islam tiba setiap tanggal 1 Muharram. Bagi umat
Islam, ini bukan sekadar pergantian angka di kalender, tapi momen penting yang
sarat makna sejarah dan spiritual. Menariknya, kalender Hijriah yang digunakan
oleh kaum Muslimin tidak dimulai dari kelahiran Nabi atau turunnya wahyu,
melainkan dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.
Penetapan hijrah sebagai awal tahun Islam ini diputuskan
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Kala itu, Umar dan para
sahabat sepakat bahwa hijrah adalah peristiwa yang memisahkan antara kebenaran
dan kebatilan, antara masa gelap menuju masa terang. Maka, dari sinilah
semangat hijrah menjadi titik awal perjalanan umat Islam.
Mengapa Nabi dan para sahabat harus hijrah? Karena situasi
di Makkah semakin menekan. Umat Islam menghadapi penindasan, pemboikotan, dan
ancaman yang membahayakan jiwa. Setelah adanya janji perlindungan dari penduduk
Yatsrib (Madinah), Nabi memutuskan untuk berhijrah demi menyelamatkan dakwah
dan membangun masyarakat yang berlandaskan Islam.
Para sahabat hijrah dengan penuh pengorbanan. Ada yang
meninggalkan harta, rumah, bahkan keluarga. Ada yang berhijrah secara
sembunyi-sembunyi. Tapi tidak dengan Umar bin Khattab, yang justru mengumumkan
hijrahnya secara terbuka. Nabi Muhammad sendiri hijrah bersama Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Mereka sempat bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari sebelum
melanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Proses hijrah ini bukan perjalanan biasa. Banyak hal luar
biasa terjadi: peran Asma’ binti Abu Bakar yang membawa makanan secara
diam-diam, Abdullah bin Abu Bakar yang mengintai informasi, dan Amir bin
Fuhairah yang membantu menghapus jejak. Semua menunjukkan perjuangan luar biasa
demi mempertahankan iman.
Namun tidak semua orang bisa hijrah. Ada yang tertahan
karena usia, kelemahan fisik, atau tekanan keluarga sebagaimana yang termaktub dalam
surat An-Nisa:98. Ada pula yang enggan berhijrah karena terlalu mencintai
dunia, dan ini menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak terjebak dalam
sikap yang menahan kita dari kebaikan.
Lalu, mengapa Nabi memilih Madinah? Karena penduduknya—kaum
Aus dan Khazraj—telah menyatakan kesediaannya untuk menerima dan melindungi
Nabi. Di Madinah pula Islam bisa tumbuh lebih kokoh, karena masyarakatnya sudah
lebih siap secara sosial dan politik.
Kini, hijrah fisik mungkin tidak lagi relevan bagi
kebanyakan kita. Tapi semangat hijrah tetap sangat penting. Hijrah di masa kini
adalah hijrah hati dan sikap. Kita tinggalkan kebiasaan buruk, kemalasan,
kebodohan, dan kemaksiatan. Kita bergerak menuju ilmu, amal, dan akhlak mulia.
Inilah hijrah sejati yang dibutuhkan di zaman sekarang.
Tahun Baru Islam seharusnya menjadi momen evaluasi dan
refleksi. Apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apa yang harus kita
tinggalkan? Dan apa yang perlu kita bangun untuk masa depan yang lebih baik?
Mari kita sambut tahun baru Hijriah ini dengan semangat
hijrah yang sesungguhnya. Bukan hanya berpindah secara fisik, tapi berpindah
secara spiritual dan moral. Dari yang kurang baik menuju yang lebih baik. Dari
yang biasa-biasa saja menuju pribadi yang lebih bertakwa dan bermanfaat.
Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk terus berhijrah
setiap hari, menuju kedewasaan iman, keikhlasan amal, dan kemuliaan akhlak.
Aamiin.
Penulis: Fitrian Nabil